- Bis Go Wellington, ini harga ticketnya bervariasi. Kalau jaraknya dekat ya 1 dolar, agak jauh 1,5 dolar, jauh dikit 3 dolar dan ticket murah keliling Wellington yaitu Day Tripper seharga 5 dolar. Keistimewaan Day Tripper ticket adalah karena kita bisa turun dan naik di mana saja.
- Taksi, kalau Anda berkantong tebal sih oke2 saja.
- Scooter dan sepeda motor. Anda akan jarang menemukan scooter atau sepeda motor di Wellington. Jalanan di sini kurang mendukung untuk moda transportasi ini, apalagi kalau musim dingin, makasih deh.
- Mobil, ini yang paling banyak dipakai orang sini. Harga mobil di sini kebanyakan lebih murah daripada harga sepeda motor.
- Mobil sewaan, ini kalau Anda benar-benar berminat untuk jalan-jalan yah. Harga sekitar 48 dolar perhari sewa. Ada juga yang 28 dolar.
Sabtu, 18 April 2009
Transportasi di New Zealand, Khususnya Wellington
Karori Sanctuary Wellington, Duh Kecewa Deh Pergi Kesana
Hari Jum'at tanggal 10 April 2008, saya bersama istri berkunjung ke Karori Sanctuary. Sekitar 10 menit jalan kaki dari Karori Parks. Menjelang jam 10 pagi saya berangkat bersama istri. Berangkat dari flat menuju Sanctuary menggunakan ticket Day Tripper bis Go Wellington seharga NZ $5/passenger.
Minggu, 05 April 2009
Peta Kota Bandung, Download?
Sabtu, 04 April 2009
Halal Butcher, Wellington Selandia Baru
Pak n Save Tempat Belanja di Wellington New Zealand
Kamis, 02 April 2009
Bapak Ibu tercinta, I love them
Kakak perempuanku bilang bahwa Bapak minggu ini sedang pergi ke Ambon menemani adiknya, Pamanku, Lik Sadik. Sepertinya untuk urusan bisnis adiknya yang saat ini mulai tumbuh lagi.
Ibuku adalah seorang wanita Jawa yang lembut terhadap anak-anaknya, namun keras dalam menetapkan aturan. Ibu yang bisa mengerjakan pekerjaan multi task, kadang sebagai ayah saat Bapak sedang pergi keluar kota. Bapak lebih bersifat memberikan kebebasan pada anak-anaknya, jika menurutmu apa yang kamu lakukan benar, lakukanlah. Saya masih ingat saat Bapak marah besar dan mencambuk saya dengan cambuk rotan. Saya tak berani pulang, orang sekampung akhirnya mencari saya.
Sudah hampir 6 bulan kami tak bertatap muka dengan mereka. Mudah-mudahan saja Allah memberikan kesehatan pada mereka. Terakhir kami pergi ke sana adalah saat Lebaran 2008. Saya dari Surabaya menuju ke Semarang dan istri dari Jakarta menuju ke Semarang. Kami berdua akhirnya menginap di hotel Surya Semarang sebelum pulang ke Sumberejo Blora.
Desa Sumberejo, Kec. Japah Kab. Blora, Aku merindukanmu
Desa Sumberejo kecamatan Japah kabupaten Blora, rumah kami ada di sana. Setelah dua bulan berada di New Zealand saya sangat merindukannya. Sebuah desa kecil yang nyaman, jauh dari hiruk pikuk perkotaan, hutan jati yang masih menghijau, desa yang tenang. Berjarak 25 kilometer dari kota Blora, rumah saya adalah di sebuah desa yang terpencil.
Rumah berlantai tanah dan berdinding kayu, tapi kami merasa nyaman tinggal di dalamnya. Entah kapan kami bisa memperbaikinya. Hanya kamar mandi dan WC yang menjelang pernikahan saya saya buat dengan gaya yang lebih modern.
Saya bersyukur karena Allah memberikan sarana dan media bagi saya untuk menjadi spirit baru bagi kemajuan desa kami, bagi anak-anak muda yang dulu takut untuk berkuliah karena keterbatasan biaya. Kini, kami generasi muda desa kecil ini tak terlalu takut dengan hal itu. Kini, di desa kami telah muncul bibit-bibit baru Sarjana yang berawal dari ketidakmampuan dan kenekatan yang tidak malu saat harus menenteng beras untuk dibawa ke kampus saat pulang ke Sumberejo. Saya berharap mereka bisa memberikan konstribusi yang terbaik, minimal bagi diri sendiri dan orang tuanya.
Selasa, 31 Maret 2009
Akhirnya, Kutemukan Cabe Impianku
Minimarket milik orang China itu berada di Dixon Street, dekat dengan Cuba Street dan Manners Mall serta segaris dengan Courtenay Place. Setelah ngubek-ngubek isi toko hampir 3 menitan saya dan istri menemukan cabe impian kami. Huff..., lega rasanya. Soalnya kami berdua malu, orang masuk ke toko kok cuma cari cabe, seharga NZ$ 4,99 lagi.
Bicara tentang cabe, di Wellington pada khususnya dan di New Zealand pada umumnya, cabe adalah barang mahal. Soalnya orang Kiwi juga nggak suka makanan pedas-pedas, paling hanya orang Asia saja yang hobi makan pedas. Lada hitam saja tak akan cukup untuk memuaskan rasa pedas dambaan Indonesia.
Ada beberapa toko dan tempat yang memang menyediakan cabe untuk Anda beli. Beberapa harganya mahal banget karena satu kilogram cabe mencapai NZ$ 40 (Rp. 240.000), itu juga rasanya nggak pedas, kurang mantap deh pokoknya. Kalau mau agak murah (sekitar NZ$ 2 perpack (1 ons) ya di Sunday Market, tapi masalahnya kita rajin ngga nyamperin ke sana tiap minggu? Jadi kayaknya pilihan untuk beli cabe yang lumayan segar ya di Dixon Street ini deh.
Alternatif lain? Sabar yah... Nanti saya posting lagi kalau sudah ketemu.
Sabtu, 28 Maret 2009
Dragon Boat Festival, Wellington
Event ini dilaksanakan pada hari Sabtu-Minggu, 21-22 Maret 2009. Acara yang cukup meriah. Ada beberapa tim yang ikut berlomba. Hanya saja saya nggak tahu berapa timnya.
Saat itu saya berdua bersama istri. Istri kan kerja paruh waktu di Te Papa Museum, jadi pas pulang saya jemput. Kami sempatkan berjalan-jalan di Wellington Harbour cukup lama karena pingin nonton Wellington Dragon Boat Festival. Ada beberapa ratus foto yang sempat saya ambil bersama istri.
Acara ini cukup meriah karena banyak turis yang datang, even nasional tapi bisa dimanfaatkan oleh agen-agen wisata New Zealand sehingga supporter nggak hanya datang dari dalam negeri tapi juga dari luar negeri. Termasuk saya sama istri ini. Hehe...
Acara ini dilaksanakan dengan Sunday Market, jadi cukup strategis. Soalnya hari Minggu saya bisa sekalian belanja.
Universitas Negeri Semarang (Unnes)
Gunungpati, Sekarang, bis GP, Sampangan, Jatingaleh dan Semarang. Sekaran, ada banyak kenangan tertinggal di sana. Terkadang saya merindukan untuk kembali ke sana, oleh karenanya sesekali bersama istri saya berkunjung ke Sekaran. Ke kampus dimana saya dulu menyelesaikan kuliah.
Unnes, saya memulai kehidupan kuliah dari bawah. Dengan bantuan kakak-kakak yang begitu support pada saya, orang tua yang tidak mampu untuk membiayai kuliah saya. Setiap kali pulang ke Blora, Ibu selalu membekali saya beras 10 kilogram untuk makan sebulan dan sambal kacang yang dibuat seperti bola. Sambal kacang ini cadangan jika saya sudah tak punya uang untuk membeli sayur, tapi juga kadang jadi makanan utama.
Saya kadang makan beras mentah karena tak punya uang lagi untuk belanja dan makan. Warung mbak Yayuk di Sekarang, mbak Kom, Bu Sinah dan warung di Gang Pete adalah langganan saya. Karena dengan uang Rp. 3.000 saya bisa makan sehari.
Berbagai macam pekerjaan part time saya jalani untuk menopang biaya kuliah saya. Mulai dari jadi tukang gali tanah, tukang kayu, tukang sensus hutan, jadi penjaga rental komputer dan hampir semua pekerjaan kasar saya jalani untuk bisa kuliah. Alhamdulillah, karena keterpaksaan itu saya bisa menulis beberapa artikel di media cetak dan mengajar komputer. Beberapa beasiswa alhamdulillah telah membantu biaya SPP saya. Saya tak ingin membuat orang tua saya kecewa, mereka harus bangga mempunyai seorang anak yang nekad untuk kuliah dengan jerih payah dan keringat anak bersama kedua orang tuanya.
Setiap kali mengingat kampus Universitas Negeri Semarang itulah, semangat saya jadi membara. Bahwa saya harus survive sebagaimana dulu saya jalani. Saya tak takut gagal, mungkin dengan itu saya tahu cara untuk berhasil. Saya akan tetap mengenang kampusku yang jauh di Sekaran sana, meskipun sekarang saya di New Zealand.
Mau Nyebrang Jalan, Pencet ini dulu yah (Wellington)
Wah kapan ya di Indonesia ada kayak begini. Yah, memang sistem pedestrian di Indonesia masih mengandalkan lampu merah kuning hijau yang dikendalikan oleh timer. Kalau di Wellington, sudah ada tombolnya untuk itu. Jika mau nyebrang, tinggal pencet, tunggu beberapa saat sampai lampu hijau bergambar orang berjalan menyala.
Biar lebih jelas, di zoom saja gambarnya gapapa.
Jika mau menyebrang jalan di New Zealand hati-hati yah, mereka pada patuh hukum. Jadi kalau lampu tanda pedestrian boleh menyebrang menyala barulah menyebrang. Jika belum, hati-hati. Pastikan benar-benar jalur kendaraan lagi sepi atau kita ditabrak tanpa ampun karena kita yang melanggar hukum, menyebrang pada saat yang salah. Perhatikan lampu dan instruksi pada foto yang saya lampirkan di postingan ini.
Wellington Harbour, ngantri buat beli ikan
Hampir setiap hari Ibu Kos saya di Tada menyajikan menu ikan. Inilah adat orang Sulawesi Tengah. Dianggap tidak makan atau nggak ada lauk jika ikan tidak tersedia. Bagi saya sayur, tempe goreng, sambel dan telur ceplok sudah cukup. Tapi Ibu kos saya melarang saya makan hanya gara-gara nggak ada ikan.
Kesukaan pada ikan ini akhirnya berlanjut saat saya menikah, karena ternyata istri saya lebih suka ikan. Saking nyidamnya untuk makan ikan saya dan istri suka beli ikan segar pada hari Minggu di Sunday Market Wellington. Waduuh...kok jauh amat dari Palu kok lompat ke Wellington.
Saat pertama kali beli, istriku ngantri lama banget. Hampir ada 50 orang ngantri beli ikan di Wellington Harbour. Belakangan kami baru tahu kalau yang ngantri ternyata yang minta ikannya di fillet (diiris dan dibuang tulangnya), padahal kami mau beli ikan segarnya. Eeeh...nggak taunya yang mau ikan segar bisa langsung nylonong ke depan untuk beli tanpa beli ngantri. Padahal sudah ngantri setengah jam lagi. Semprul....
Jadi jika Anda mahasiswa mau beli ikan segar, datang saja ke Wellington Harbour pada saat Sunday Market. Harganya berkisar NZ$ 6.00 s/d NZ$ 14.00 perkilo tergantung jenis ikannya. Kalau mau dapat bonus satu ikan, datanglah pada saat siang menjelang Sunday Market tutup. Tapi saya nggak tanggung jawab yah kalau ikannya keburu habis. Hehe...
Jalan Kaliurang Yogyakarta
Ada beberapa kenangan yang membuat saya begitu teringat dengan jalan Kali Urang Yogyakarta ini. Pertama saat saya masih single, belum menikah dan bekerja sebagai Site Engineer di sebuah perusahaan kontraktor ternama di Indonesia. Saat itu saya bersama teman-teman tinggal di daerah kampus UGM Yogyakarta tak jauh dari hotel Vidi 1, orang yang pernah ada Yogyakarta kebanyakan tahu jalan Kaliurang.
Saya suka berada di sana karena harga makanan yang murah meriah, laundry yang perkilo cuma Rp. 3.000 dan temen-temen yang asyik. Saat saya sakit gejala typus pun dekat dengan rumah sakit. Untuk yang satu ini saya ucapkan terima kasih kepada Agung Saputro yang telah mengantarkan saya yang lagi sakit ke rumah sakit. Calon istri saya saat itu sampai mau menyusul ke Yogyakarta karena sakit ini.
Lalu yang kedua saat sudah menikah, saya bersama istri dengan pekerjaan yang sama seperti sebelumnya. Kami dalam kondisi uang sangat pas-pasan mencari hotel yang bisa dipakai untuk tempat menginap barang semalam. Pengantin baru yang ingin bulan madu dengan uang pas-pasan. Akhirnya kami dapat hotel dengan harga Rp. 90.000/malam, di Jalan Kaliurang juga. Tapi amit-amit kotor banget, di sprei banyak sekali bercak-bercak yang saya tahu itu bercak sperma.
Saya kasihan sekali pada istriku karena gatal-gatal setelah tidur di sana.
Sunday Market (Farmers Market) Wellington cuman cari Cabe
Itu pula yang kami lakukan di Wellington, New Zealand. Hari Minggu sekitar jam 11.00 saya berdua sama istri suka membeli stock belanjaan selama seminggu di Sunday Market. Ini tempat favorit kami dalam berbelanja. Selain harganya murah, fresh dan yang jelas jalan-jalan di pagi hari.
Berjalan dari flat di Drummond Street menuju Sunday Market di kawasan Wellington Harbour membutuhkan waktu sekitar 25 menitan. Kalau naik bis sih bisa juga bayar NZ$ 1,50 tapi kan sayang. Di sana kami biasanya membeli ikan segar, sayuran, buah-buahan, dan bumbu.
Hal yang paling menggiurkan di sini sebenarnya adalah CABE. Tau cabe kan? Itu loh, yang rasanya pedas. Kami berdua orang Indonesia yang keranjingan makan pedas, apalagi istriku keturunan Padang totok yang tiap hari selama di Indonesia makan pake sambal. Ngubek-ngubek Kota Wellington Anda akan kesulitan menemukan cabe yang cocok dengan kantong kami.
Kadang sekilo cabe yang sudah difrozeen harganya mencapai NZ$ 30 (Rp. 180.000), hehe nggak dehhh.. Nah di Sunday Market kami bisa beli cabe perpack kecil sekitar NZ$ 2.00 yang cukup untuk bumbu 3 hari. Hehe..., kalau sudah begini, dapat cabe baru bilang Indonesia banget.
Maklum saja orang di sini kan nggak suka pedas. Saus buatan Indonesia yang menurut kami terasa manis saat kami kasih ke mereka malah kepedasan. Itulah bedanya lidah made in Indonesia dan lidah made in New Zealand. Bedanya pada saat makan cabe....Hehe...
Kerja di Wellington? Buka Website ini yah
Sudah lama nggak upload postingan, soalnya kemarin lagi ngubek-ubek mencoba daftar Google Adsense. Tapi dari 6 yang di apply, keenam-enamnya di tolak. Syukurlah... Enam kali belajar gagal. Alhamdulillah aplikasi yang ketujuh dan kedelapan diterima.
Pesan saya, jangan lupa mendownload link-link yang saya sediakan. Kalo teman2 mendownload melalui link-link yang saya sediakan di beberapa postingan saya bersyukur. Teman-teman mendownload, berarti saya dapat beberapa sen dollar. Hehe....
Kalo mau coba, klik aja download di sini. Itu isinya Peta Yogyakarta kok. Kan lumayan, kalo Anda download berarti bantu biaya kuliah saya.
Oh iya, dalam postingan kali ini saya ingin menyampaikan beberapa informasi tentang website-website yang menyediakan informasi tentang pekerjaan part time atau pekerjaan full time. Utamanya yang ada di New Zealand, dan Wellington pada khususnya. Di simak yah.
- TradeMe, untuk ini Anda bisa mendapatkan informasi pekerjaan part time dan full time di New Zealand. Kalik aja linknya di http://www.trademe.co.nz/category_index.htm#TradeMeJobs. Mudah kok, coba aja yah. Tinggal klik jenis jobnya, waktu kerjanya dan area kerjanya. Lumayan komplit deh, dari barang baru, barang bekas/second sampai tetek bengek yang aneh-aneh juga bisa Anda dapatkan dari TradeMe.
- Seek.co.nz, Anda bisa mengklik link ini http://www.seek.co.nz. Caranya nggak jauh beda dengan TradeMe.
- Job yang disediakan pemerintah New Zealand, ini sih jarang dibuka di sini. Tapi bisa menjadi alternatif. Klik aja di link ini yah http://www.careers.govt.nz/. Situs ini agak ribet sedikit, cuma kalo sudah biasa buka lama-lama juga enak kok.
- Student Job Search, disingkatnya SJS. Link ini memang dikhususkan untuk para student, buka aja di http://www.sjs.co.nz/. Anda tinggal masukkan kategori pekerjaan dan region/area yang Anda inginkan, lalu klik Search. Wuz...wuz...job akan keluar. Mudah-mudahan ada yang cocok dengan Anda.
- Ini namanya agak susah, tapi bisa Anda klik linknya di sini http://jobs.nzherald.co.nz/. Kalo yang ini saya baru buka beberapa kali, bisa dihitung dengan jari. Anda yang mencoba yah and then give me the info about that, okey?
- Nah, ini dari pemerintah lagi. Namanya http://www.jobs.govt.nz/. Coba yah. Hehe...
Semarang, Kota Tua di Indonesia
Aku cinta Semarang. Inilah kata-kata pertama yang muncul dalam benak saya. Selama lima tahun saya menghabiskan waktu di kota ini untuk menyelesaikan kuliah jurusan Teknik Sipil saya. Sampai akhirnya saya nyangsang (nyangkut) di hati seorang mahasiswi Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, kota Depok nun jauh di barat sana. Istri yang selalu menemaniku di kala susah dan senang, she is my lovely wife.
Saya masih ingat betul dengan dosen-dosen saya seperti Pak Saratri Wilonoyudo, Pak Ispen, Pak Lashari, Bu Sri Handayani, Pak Nur Qudus dan dosen-dosen lainnya. Pokoknya saya ucapkan terima kasih atas bantuan mereka semua.
Saya suka kekhasan kota Semarang. Ada Lumpia di Jl. Pandanaran, sego (nasi) kucing di dekat kampus, Masjid Agung, Gereja Blenduk, Gunung Pati (hehe... ini sih kampus saya) dan kawasan Kota Tua nun indah yang sekarang sering kerendam rob. Tidak tahu kapan pemerintah daerah bisa memanfaatkan kawasan itu dengan baik dan menjadikannya obyek wisata yang mengagumkan.
Simpang Lima, ya inilah tempat favorit saya dulu. Sembari nongkrong di Masjid Agung Simpang lima saya suka menikmati pemandangan saat malam hari. Mau jajan? Hehe... saat itu masih mahasiswa jadi cuma melihat saja. Bagi saya Simpang Lima adalah bagaikan Manners Mall atau Cuba Street di Wellington New Zealand. Bedanya kalau di Semarang masak pakai cabe, kalau di New Zealand cuma pakai lada. Nggak pedes..., nggak Indonesia banget.
I love my country.
Traveling ke Jayapura dan Papua New Guinea
Jam sebelas siang istriku berangkat ke kampus UI untuk mengambil biaya operasional project penelitian GF ATM (Global Fund for AIDS, TBC and Malaria) yang akan kami jalani di Jayapura nanti. Hanya saja untuk project kali ini adalah khusus untuk project Evaluasi Malaria. Saya di rumah mengurusi tetek bengek yang nanti akan kami bawa. Obat Malaria juga kami siapkan, kami tidak ingin sepulang dari Jayapura juga kena Malaria.
Propinsi Papua adalah daerah endemic Malaria. Minyak kayu putih, balsam, obat sakit kepala, pembalut, sampo, sabun mandi, sikat gigi, odol, dan Antangin tak lupa juga sayasiapkan. Aku sendiri soalnya sering masuk angin jika perjalanan jauh. Saya menyiapkan semuanya bukan tanpa alasan, kata Bu Sunday guide kami yang sekaligus juga pegawai Dinkes Jayapura mengatakan kalau harga-harga di sana jauh lebih mahal dibandingkan di Bojonggede Bogor, tempat tinggal kami.
Cerita selanjutnya (more)......click here.
Wellington, Kota Berangin yang Indah Minim Debu
Kota Wellington lagi windy (berangin) soalnya lagi autum (musim peralihan summer ke winter). Suhunya berkisar 12 derajat celcius, sejuk tapi panasnya juga terik. Kotanya tenang banget, hampir nggak ada traffic light di sini, semuanya benar-benar berdasarkan kesadaran pengemudi mobilnya. Jadi saat ada persimpangan, masing-masing pengemudi seakan sudah tahu harus memberikan kesempatan mobil yang lain untuk lewat.
Dua bulan lalu, tepatnya tanggal 31 Januari 2009 kami berangkat dari Jakarta jam 20.45 WIB. Bersama istriku tercinta kami dari Bojonggede diantar oleh ayah mertua, saudari kembar istriku dan adikknya. Sampai di sini jam 02.30 pm 1 Februari 2009.
Masuk imigrasi bayar fiskal Rp.2,5 juta. Sebenarnya bisa sih gratis dengan menunjukkan NPWP yang sudah dibuatkan oleh perusahaan tempatku bekerja dulu. Tapi dampaknya kalau aku kerja, gajiku di New Zealand bakalan kena potong pajak dengan standar pajak Indonesia. Akhirnya kami putuskan tidak pakai NPWP untuk bayar fiskal.
Sampai di depan ruang tunggu Qantas Airways kami masih bawa dua botol Aqua. Padahal membawa cairan lebih dari 200 mililiter dilarang masuk, jadi dua botol itu kami habiskan berdua dengan istri. Perut jadi kembung karena air.
Ini pertama kalinya kami naik Airbus. Pesawat lumayan gedhe dengan fasilitas yang cukup komplit. Nyaman.
Dari Jakarta sampai Sydney membutuhkan waktu 7 jam 40 menit. Jam 07.10 waktu Sydney kami tiba di Sydney, bandara yang menurutku masih bagusan Bandara Hassanudin Makassar. Pemeriksaan imigrasi dan barang bawaan ekstra ketat. Tas dibongkar, gunting dibuang dan laptop harus dikeluarkan dari tas untuk pemeriksaan. Nyebelin.
Jam 09.40 Sydney kami terbang menuju Wellington dengan lama penerbangan 2 jam 50 menitan. Jadi lumayan sih ga terlalu lama, soalnya sudah capek.
Kami tiba di Wellington, New Zealand jam 14.00 waktu setempat dan harus menjalani pemeriksaan bagasi lagi. Bagasi yang berisi makanan harus dibongkar, di Pilihannya ada tiga. Declare your bringing, or dispose your bringing into trash box.. dan yang terakhir kalau nggak ngaku Kena Denda NZ$ 200, kalau dirupiahin kira-kira ya Rp.1,5 jutaan.
Untungnya ada orang Indonesia yang jadi Officer untuk pemeriksaan bagasi kami. Terimakasih untuknya, soalnya kalau nggak dibantu makanan favoritku dan istriku bisa dibuang semua oleh Supervisornya. Oh iya, kalau bawa visa student tunjukkin aja, itu bisa mengurangi hukuman kok.
Saat postingan ini aku upload kami masih menginap di penampungan, kos-kosan mahasiswa yang dulu kuliah di Wellington juga. Besok mudah-mudahan sudah bisa tinggal di flat baru kami bersama empat teman lainnya.
Terus tadi temen dari Makassar yang sudah enam bulan di sini ngajak kami jalan-jalan sebentar. Ternyata di sini ada kebiasaan barang bekas pakai tapi masih layak pakai yang nggak dipakai lagi ama pemiliknya dibuang di tempat penampungan agar bisa dipakai orang lain yang membutuhkan. Bisa dicontoh nih kayaknya ma orang Indonesia.
Dari tempat itu kami mengambil 2 buah cangkir, 2 buah piring, 4 buku fiksi berbahasa Inggris dan itu gratis. Hehe..., kami jadi pemulung soalnya bekal kami memang terbatas.
Student Visa kami sampai kuliah kami selesai. Biaya kuliah sudah beres, tapi untuk biaya hidup ya harus cari sendiri dengan bekerja part time bersama istriku. Habis kuliah kami harus kerja.
Bagasi dan Pemeriksaannya di New Zealand
Hai kawan-kawan yang mau berangkat ke Wellington, New Zealand ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian. Terutama mengenai bawaan yang ada dalam bagasi dan yang akan dibawa naik ke dalam pesawat (tentengan). Pemeriksaan cukup ketat biasanya diberlakukan di bandara Syney dan Wellington (hampir semua wilayah New Zealand pemeriksaan bagasi sangat ketat). Nah, berikut ini beberapa saran yang bisa saya sampaikan, mudah-mudahan ada gunanya yah.
Masalah berat bagasi:
Secara umum, berat maksimum untuk bagasi adalah 20 kilogram dan tentengan 7 kilogram, meskipun kadang bisa ditolelir oleh pihak airlines jika tidak lebih dari 32 kilogram. Patokan 32 kilogram ini didasarkan pada kemampuan manusia mengangkat berat paling optimal ya sekitar 32 kiloan. Menurut saya sih nggak benar juga, soalnya orang Indonesia kan kecil-kecil dan kekuatan mengangkat bebannya kebanyakan kurang dari itu. Itu kan standar orang barat yang badannya segedhe-gedhe kulkas.
Jika lebih dari itu maka akan kena denda US$ 45, kalau dirupiahin mahal banget boo.. Jadi ada beberapa saran yang sudah sering dilakukan dan biasanya berhasil. Jika kita yakin bawaan kita melebihi kuota yang kita miliki, maka:
- Datanglah untuk check in lebih pagi/awal sehingga pemeriksaan berat bagasi tidak dilakukan secara ketat.
- Jika kita memakai visa student maka biasanya kelebihan bagasi di atas 20 kilogram tapi kurang dari 32 kilogram masih bisa diampuni oleh petugas check in bandara, maklum saja, student kan biasanya ngirit dan segala apa yang ada dari rumah diangkut semua. Ada mie, saos, kecap, magic jar, setrikaan dll. Weleh-weleh..., kayyak orang mau eksodus saja. Jadi petugas check in pun agak maklum. Kalau nggak maklum juga pasanglah wajah memelas dan berargumen yang masuk akal bahwa kita student dan benar-benar butuh itu.
- Kalau temen2 yang berangkat banyak orang maka bisa saling membantu atau bagi-bagi beban sehingga berat bagasi bisa sesuai standar.
- Kalau masih nggak ada jalan lain, bayarlah denda. Hehe....
Ini yang sering jadi pertanyaan pada temen2 cewek. Maklum saja mereka kan butuh banyak make up untuk dibawa. Minyak wangi, deodoran, hand body lotion, balsam, obat gosok, minyak kayu putih dll. Ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian teman-teman, ini langkah-langkahnya:
- Cairan, obat-obatan dan makanan sebaiknya dimasukkan ke dalam bagasi pesawat. Begitu juga dengan alat-alat tajam seperti: gunting, pemotong kuku, pinset dan yang kira-kira tajam lainnya sebaiknya masukkan ke dalam bagasi. Soalnya saya kemarin bawa pemotong kuku kecil saja kedetect sama X-Ray di bandara Sydney, Australia. Pemotong kuku di minta petugas bandara dan tidak dikembalikan. Padahal transitnya cuma satu jam setengah.
- Kalau ada cairan yang ingin dibawa dalam tentengan masuk ke dalam pesawat, maka sebaiknya kurang dari 200 mililiter. Lha wong saya bawa air dua botol mau masuk ruang tunggu di bandara Sukarno Hatta saja nggak boleh, akhirnya saya dan istri kembung gara-gara minum air dua botol sekaligus. Ada juga teman yang membawa handbody lotion dalam tentengan, tapi akhirnya dispose (dibuang ke dalam keranjang sampah, sayang kan beli mahal-mahal).
- Jangan membawa sampel tanah dari negara asli, terutama yang menempel pada sepatu dan alat-alat olahraga. Kalau mau dibawa, cucilah dulu yang bersih dan tidak ada tanah yang masih menempel, atau petugas bandara Australia dan New Zealand akan membuang sepatu Anda.
- Declare semua barang yang Anda bawa jika menurut anda meragukan. Saat kita masuk pesawat dan pesawat akan transit di satu negara maka pramugari/ra akan memberikan check list isi bagasi kita. Barang2 yang menurut kita meragukan dan masuk dalam list pada checklist sebaiknya kita declare (beritahukan), atau kena denda cash NZ$ 200, ya kira-kira Rp. 1.200.000,00.
- Barang yang dianggap meragukan oleh New Zealand dan Australia antara lain: obat-obatan (harus membawa resep dokter kalau memang bawa obat, kecuali obat-obatan ringan), di larang membawa makanan basah (daging, sayur mentah, daging matang, sosis dsb).
- Kalau bawa makanan dari Indonesia, pilih yang kering saja dan ada kandungan isi makanannya (ingredient) apa saja. Kalau itu makanan kering buatan sendiri sebaiknya bungkus yang rapi dan ketik ingredients-nya apa saja, tempelkan pada makanan tersebut. Contohnya ada temen yang membawa Jahe bubuk maka cantumkan saja 100% jahe kalau memang nggak ada bahan lainnya. Dalam bahasa Inggris loh yah.
- Saat kita naik pesawat dari Sydney menuju Wellington, kita pasti diberi check list isi bagasi kita apa aja. Nah kalau ragu dengan bawaan kita berdasarkan check list yang diberikan, maka declare saja (artinya kita ragu/menyadari bahwa kita membawa barang yang menurut pemerintah setempat berbahaya, daripada dibuang atau didenda). Soalnya saat kita mau keluar dari bandara Wellington, seluruh isi bawaan (bagasi, tas dan tentengan) pasti dibongkar sama mereka dan ditanyain satu persatu. Capek kan.
Keunikan Kota Wellington, New Zealand
Ada perbedaan definisi macet versi Indonesia dan versi New Zealand. Dasar orang Indonesia, hal yang sebenarnya di sini menurut pandangan orang Indonesia belum macet, tapi orang sini sudah bilang macet parah. Hehe..., saya juga jadi serba bingung.
Banyak hal-hal paradox juga yang saya temukan di sini. Tapi saya belum bisa cerita sekarang, mungkin lain kali aja. Karena masih dalam proses analisa.
Ketepatan waktu sangat dihormati di sini, karena kita memang sangat mudah mencapainya di sini. Kota yang hampir tanpa ada kemacetan. Orang Indonesia yang ada di sini pun akhirnya ikut terbawa irama itu.
Jalan-jalan didesain sangat mudah untuk dilalui oleh orang-orang cacat, apalagi orang-orang normal dan sehat. Jika Anda keranjingan skate board dan bersepada, di New Zealand mendukung untuk itu.
Trotoar untuk akses pedestrian (pejalan kaki dan orang cacat) di desain sangat mudah untuk dilalui. Beda sekali dengan di Indonesia yang trotoarnya memiliki level lebih tinggi kadang sampai 20 cm, jangankan untuk orang cacat dan kendaraannya, untuk jalan orang normal saja bisa kesandung-sandung alias nggak nyaman.
Jika hari Sabtu malam minggu, kebanyakan orang di sini mengadakan party, atau minum-minuman keras. Inilah yang alhamdulillah tidak atau jarang kita temukan di Indonesia. Udara yang dingin di sini mungkin mendukung untuk melakukan itu. Hari Minggu pagi, cobalah keliling kota. Maka Anda menemukan banyak botol atau pecahan botol berserakan di mana-mana. Kadang bekas muntahan orang mabuk juga mudah kita temukan.
Orang di sini suka jalan kaki, jarang saya temukan orang sini yang mengalami obesitas. Kaki wanita dan gadis di sini indah-indah karena terbentuk saat berjalan kaki. Cowok-cowoknya juga banyak yang ganteng dan berbadan cukup atletis, ini karena di sini mereka suka olah raga.
Anda tidak akan sulit menemukan orang seperti Brad Pitt atau Tom Cruise di sini. Sangat mudah. Jika Anda penggemar Angelina Jolie atau Scarlet Johanson, di sini juga banyak yang lebih cantik dari itu. Orang berbadan seperti Pamela Anderson juga sangat banyak di sini.
Budaya pacaran di sini juga sangat berbeda dengan di negara kita. Di sini cowok dan cewek meskipun sudah pacaran, makan malam bersama ya bayar sendiri-sendiri. Asas kemandirian masing-masing kayaknya ada di benak mereka. Jadi, kalo Anda mau pacaran di sini jangan khawatir akan bangkrut cepat. Hehe....
Kota Wellington adalah kota kecil, dengan penduduk kurang lebih 350.000 jiwa, kalah besar dengan kota Solo yang mencapai lebih dari 500.000 jiwa di tahun 2003. Sedang Auckland hanya mencapai 1,3 juta jiwa, sekali lagi kalah besar dengan penduduk kota Semarang yang berpenduduk lebih dari 1,4 juta jiwa di tahun 2005.
Saya pribadi sebenarnya berharap, ibukota negara dipindahkan ke kota yang lebih kecil. Jakarta sudah tidak efektif lagi menjadi pusat pemerintahan. Kesibukan, kemacetan, bising dan ketidaknyamanan tentu bukan alasan utama. Tapi lebih kepada pemerataan kesejahteraan. Mau tak mau saat kota kecil berubah menjadi ibu kota negara, tentu akan membangkitkan geliat ekonomi baru.
Yah,,,begitulah. Masih ada banyak hal yang harus saya pelajari disini dan kemudian mudah-mudaha bermanfaat bagi bangsa Indonesia. Saya merindukan Indonesia, keluarga, makanannnya, panasnya dan cabenya.
Manners Mall, Anda Suka Pacaran? Datanglah ke sini
Manners Mall dekat dengan Cuba Street, Courtenay Place, Te Papa Museum, Wellington Harbour, Michael Fowler, dan Museum of Wellington and Sea. Saya suka ke sini karena sekolah saya di sini. Hampir setiap hari ada pertunjungan menarik di Manners Mall. Dari pengamen yang menabuh drum sampai menendang-nendang telinga, terompet Scotish, gitaris, pesulap, dan pedagang ticket juga kadang nongol di sini.
Beberapa muda-mudi New Zealanders suka datang ke sini untuk janjian sebagai tempat bertemu. Anda akan menemukan berbagai gaya berpakaian warga Wellington. Cukup bagus juga sih. Silakan berkunjung ke sini jika Anda mau.
Cuba Street, Jantung Kota Wellington
Cuba Street, Wellington Selandia Baru adalah salah satu titik pusat keramaian di kota Wellington. Saya yang pernah bekerja sebagai Asisten Chef di Mr. Bun Bakery and Coffee Shop di area ini sempat merasakan betapa gempornya kaki ini karena saking sibuknya. Kedua jempol kaki dan jari telunjuk kaki saya sampai hitam karena kelelahan yang amat sangat.
Di sini Anda bisa menemukan banyak restoran, pusat-pusat perbelanjaan dan terutama Kiwis (orang yang asli hidup di New Zealand) yang sedang makan, mengadakan pertunjukan, bercengkrama dan sebagainya. Saya kadang membayangkan kapan ya kota Depok dan Semarang dibikin kaya gini. Hehe....
Banyak turis yang mengunjungi tempat ini, jadi jika Anda mau ke Wellington saya sarankan juga berkunjung ke sini. Di sini juga dekat dengan pusat keramaian lain. Hanya butuh 5 menit jalan untuk menuju Te Papa Museum, Wellington Harbour, nonton film di Reading Cinema dan makan-makan di Courtenay Place. Mantap deh pokoknya. Oh iya, di sini juga cuma satu menit jalan kaki menuju Manners Mall.
Botanic Garden, Wellington New Zealand
Botanic Garden di Wellington adalah salah satu tempat yang menurut saya terbaik untuk Anda kunjungi saat berada di Wellington New Zealand. Akses ke sana sangat mudah. Cukup naik cable car/bis seharga NZ$5 kita bisa berkunjung ke sana. Tiket bus ini sudah PP kok.
Untuk masuk ke dalam sana, gratis tis-tis kok. Jadi jangan khawatir. Mulai buka kalau nggak salah jam 09.00 pagi sampai jam 05.00 sore.
Ada beberapa tempat yang menarik yang bisa Anda kunjungi antara lain Kebun Bunga Mawar seperti yang Anda lihat di foto ini, lalu cable car (tapi bayar 1 dolar untuk student), rumah pohon dan suasana yang benar-benar nyaman. Rugi deh kalau Anda datang ke Wellington tapi nggak berkunjung ke sini.
Sabtu, 14 Februari 2009
Pekerjaan Part time dan sewa flat di New Zealand
Assalamualaikum wr wb
Kemarin Jum'at, 6 Pebruari sedang public holiday karena ada Waitangi Day, Perayaan Nasional Hari Besar Maori. Jadi kuliah kami libur. Ada beberapa hal yang ingin kami sampaikan.
Tentang flat/rumah tinggal:
Di Wellington, mengurus sewa rumah tinggal/flat bukanlah hal yang mudah karena harus:
- terlebih dahulu menunjukkan pasport/visa orang yang akan menempati kepada agen/landlord.
- Harus mempunyai account bank/rekening. Jadi saya sarankan, begitu sampai usahakan untuk segera membuat account bank.
- memerlukan proses minimal satu minggu untuk mendapatkan flat. Jadi kalau nggak dapat tumpangan tempat tinggal bersiap-siaplah untuk tidur di hotel/back packer dengan tarif minimal NZ$ 23/malam/orang.
- harga sewa cukup tinggi, minimal NZ$ 150/week/orang, kalaupun ada yang murah biasanya jauh dari kampus/sekolah. Uang garansi/bon/garansi harus dibayarkan sebesar 2 minggu pertama. Jadi secara tak langsung kita bayar 3 minggu di muka saat mau tinggal di flat tersebut
- Untuk flat, air PDAM biasanya gratis (disediakan dari pemerintah) dan sudah layak minum (kami pun biasa minum air kran). Listrik dan telepon (kalau ada) yang harus bayar.
Peraturan di NZ untuk student yang bekerja harus memiliki VOC, maka:
- Sebisa mungkin temen2 yang sekarang dalam proses pengurusan visa yang score TOEFL-nya diatas/minimal 500 atau IELTS level 5 sebaiknya diusahakan mendapatkan VOC dari Embassy New Zealand di Jakarta. Kalau di NZ bisa diurus oleh lembaga tempat anda kuliah/belajar. Tapi bayar NZ$ 120, sayang kan? Itu juga harus dengan test TOEFL/IELTS dulu.
- Pekerjaan di sini harus mencari sendiri, kalau ada temen/orang Indonesia yang sudah lama ada di sini biasanya bisa kita mintai bantuan untuk masalah training awal, membuat CV dan mengarahkan.
- Mental survival harus benar2 dimiliki. Memang ada beberapa contoh teman2 yang sukses dan surevive di sini, tapi juga ada yang gagal. Kita harus belajar dari kegagalan mereka dan lebih berhati-hati melangkah. Kalau yang rajin ikut kumpul2 sama temen2 biasanya lebih mudah dapat kerja karena link-nya banyak dan bisa sharing pekerjaan. Jadi banyak-banyaklah cari teman di sini.
- Rate gaji di sini minimal adalah NZ$12,5/hours (belum dipotong pajak), kalau sudah sertifikasi WELTEC (Wellington Institut of Technology) seperti teman saya yang sudah jadi Chef lulusan Weltec bisa di atas NZ$ 20/hours. Rata-rata student di sini bisa bekerja 3-4 jam perhari dan bisa masuk kerja setelah dua minggu berada di NZ. Satu minggu awal seperti kami masih perlu penyesuaian cuaca, pola hidup, pola jalan dan budaya lokal sini.
- Jika teman2 mempunyai sertifikasi keahlian/referensi kerja di Indonesia sebaiknya dibawa saja.
Budaya kuliah di sini sangat berbeda dengan di Indonesia, terutama untuk beberapa hal:
- Punctual, harus tepat waktu saat datang.
- Kalau ingin kuliah maka uang harus full dibayar di muka.
- Logat bahasa Inggris di sini beda banget dengan yang kita dengan di film2 Amerika, jadi jangan kaget yah. Logatnya lebih ke arah British English
- Untuk temen-temen yang ingin melihat dan membaca pengalaman kami di NZ jangan lupa membuka blog kami di: http://andoyoandoyo.multiply.com dan http://andoyoanny.blogspot.com. Hehe...promosi yak.
Website Cari Flat/Apartemen di New Zealand, Khususnya Wellington
Ada beberapa kendala yang saya alami saat pertama datrang di Wellington, New Zealand. Salah satu yang paling krusial adalah masalah sewa flat/apartemen, map kota Wellington dan cari kerjaan part time sembari kuliah. Soalnya cari flat/apartmen di sini nggak seperti saat kita mencari kos di Indonesia.
Untuk website masalah pekerjaan dan lain-lain Insya Allah akan saya publikasikan lain waktu.
Blog yang saya tulis hari ini mudah-mudah bisa menjadi gambaran bagi teman2 yang mau berangkat menyusul kami di sini. Untuk awal ini masalah primer dulu, yaitu bagaimana menyewa apartemen/flat, bagaimana dan dimana? Dibaca yah dengan seksama.
Website untuk urusan Flat atau Apartemen:
Di New Zealand, ada beberapa agen yang bisa kita hubungi secara online melalui internet. Masing-masing agen memiliki karakteristik sendiri. Nah, ini di nama agen-agennya dan alamat websitenya.
- Quinovic Property Managemen, ini bisa Anda hubungi di alamat websitenya http://www.quinovic.co.nz. Tampilan pertama adalah defaultnya, lalu pilih menu Search Rental, ketik apartment, ketik jumlah kamar dan harga tinggal klik search terakhirnya. Muncul deh detailnya. Sistem pembayaran juga bisa Anda lihat di sana.
- Full House Management, ini bisa Anda hubungi di alamat websitenya http://www.fullhousemanagement.co.nz. Tampilan website ini lebih ringkas dan lebih mudah dimengerti. Begitu halaman pertama terbuka maka Anda tinggal klik To Let saja, maka akan muncul apartemen yang Anda ingin lihat. Mulai dari jumlah kamar, jumlah kamar mandi dan tempat parkit juga ada. Penjelasan detailnya ya tinggal klik saja item yang diinginkan.
- TradeMe, websitenya di http://www.trademe.co.nz. Nah untuk agen ini agak berbeda dengan kedua agen di atas. TradeMe bidang kerjanya lebih luas. Dari apartemen, rumah tinggal, komputer, mobil, sepeda butut, hape kelindes motor juga dijual di sini. Pokoknya komplit-plit ada di sini, maksud saya terkomplit di New Zealand untuk saat ini. Khusus untuk masalah rumah tinggal/apartemen pertama Anda buka websitenya, lalu pilih Browse, lalu pilih Real Estate, lalu pilih Commercial Property, lalu pilih Leases, lalu pilih kota Wellington (atau kota yang Anda inginkan), maka akan muncul list apartemen/flat yang akan Anda sewa komplit dengan foto, harga, jumlah bathrom dan bedrom dan lain-lain.
- Lambton Property Management, websitenya http://www.propertyman.co.nz. Setelah terbuka websitenya tinggal pilih For Rent lalu klik daerah/kota yang mau disewa. Lebih simple kok, cuman agak ribet soalnya ditampilan satu persatu.
Jumat, 13 Februari 2009
Prosedur Bekerja Sambil Belajar di New Zealand
Ada beberapa prosedural yang harus dipahami oleh beberapa teman yang mau berangkat ke New Zealand untuk studi, namun juga berharap bisa mendapatkan penghasilan sembari bekerja part time.
Berikut ini beberapa prosedurnya, semoga ada manfaatnya:
- Jika nilai TOEFL Anda di atas 500 atau IELTS di atas 5,0 maka mahasiswa/pelajar yang ingin berangkat ke New Zealand sangat dianjurkan (kalau saya mewajibkan, hehe...) untuk mengajukan Visa Student maka sekaligus mengajukan VOC (Visa Student yang sekaligus juga memberikan kesempatan siswa/student untuk bekerja part time 20 hours/week). Mengajukannya di saat masih di Indonesia aja, di Embassy New Zealand. Kalau sudah terlanjur kecemplung di New Zealand maka bisa mengajukan melalui sekolah/universitas tempat ia kuliah. Prosesnya sekitar 1 bulan, dengan kelengkapannya adalah: Visa, Pasport, Surat Pengantar dan Nilai TOEFL/IELTS asli. Biasanya sih bayar NZ$ 127. Detail tentang VOC bisa dibaca di sini http://www.migrationexpert.com/nz/Visa/Vocational-Trainee-Student-Visa-New-Zealand.asp. Tapi bahasa Inggris loh yah.
- Kalau nilai TOEFL dan IELTS di bawah standar di atas, maka sebaiknya test TOEFL/IELTS dulu di Indonesia agar bisa mencapai batas minimal, kalau yang kurang, yah jangan berharap dapat VOC. Itu bisa kita urus di NZ, tapi tetap harus ada skor TOEFL/IELTS sesuai standar minimal, jadi di NZ test IELTS aja. Biayanya sekitar NZ$ 290-an. Mahal kan?
- Kalau sudah punya VOC, kita urus dulu nomor IRD (lihat di http://www.ird.govt.nz). IRD itu semacam nomor pajak bagi orang yang sudah bekerja di New Zealand. Untuk memproses IRD, kita bisa mengurusnya di kantor pos NZ atau langsung ke kantor pajak. Sebaiknya bawa Letter of Offer (Surat yang menyatakan bahwa kita sudah diterima di lembaga pendidikan di NZ, kalau belum ada ya minta aja ke sekolah/kampus tempat kita belajar di NZ), SIM dan Pasport, kalau pake KTP AMA pasport aja biasanya nggak bisa. Pasport sama SIM (Driving Lisence biasanya sudah bisa, jadi nggak perlu bawa Letter of Offer. Jadi bersyukurlah yang sudah punya SIM (bisa SIM A, B, C). Prosesnya sekitar 10 hari kerja, tapi sebenarnya kita bisa dapat lebihh cepat asal rajin menelpon operator kantor pajaknya.
- Sudah dapat IRD, lalu bikin akun bank. Alias punya nomor rekening bank. Buka rekening bank di NZ gratis kok, nggak harus bayar seperti di Indonesia. Jadi lebih mudah. Satu sampai tiga jam paling sudah selesai, kecuali kita Oon-oon amat kagak bisa bahasa Inggris, hehehe....
- Lalu bikin CV, surat lamaran dan harus pake CV/Lamaran gaya NZ. Ringkes banget nggak kayak CV made in Indonesia, ntar saya upload deh contohnya yak.
- Lalu door to door nglamar pekerjaan deh. Yak kalauu mau canggih dikit pake internet, atau datang langsung ke tempat yang kita incer plus bawa CV-nya. Biasanya sekali dua kali kita belepotan ngomongnya karena masih asing dengan bahasa Inggris yang pas-pasan. Hehe....ini pengalaman pribadi.
- Tinggal menunggu deh, kalau diterima ya syukur kalau nggak ya syukur. Masak dari 20 CV dan lamaran yang kita sebar nggak ada yang nyangkut.
Salam rindu selalu.
Senin, 02 Februari 2009
Akhirnya Sampai Juga di Wellington, New Zealand
Wellington, Kota Berangin yang Indah Minim Debu
Alhamdulillah, akhirnya kami berenam sampai juga di Wellington, New Zealand. Kota yang sepi, dimana harga mobil hanya Rp.4 jutaan tapi harga motor sampai puluhan juta. Jadi di sini harga mobil lebih murah ketimbang harga motor.
Kota Wellington lagi windy (berangin) soalnya lagi summer. Suhunya berkisar 25 derajat celcius, sejuk tapi panasnya juga terik. Kotanya tenang banget, hampir nggak ada traffic light di sini, semuanya benar-benar berdasarkan kesadaran pengemudi mobilnya. Jadi saat ada persimpangan, masing-masing pengemudi seakan sudah tahu harus memberikan kesempatan mobil yang lain untuk lewat.
Kemarin kami berangkat dari Jakarta jam 20.45 WIB. Bersama istriku tercinta kami dari Bojonggede diantar oleh ayah mertua, saudari kembar istriku dan adikknya.
Masuk imigrasi bayar fiskal Rp.2,5 juta. Sebenarnya bisa sih gratis dengan menunjukkan NPWP yang sudah dibuatkan oleh perusahaan tempatku bekerja dulu. Tapi dampaknya kalau aku kerja, gajiku di New Zealand bakalan kena potong pajak dengan standar pajak Indonesia. Akhirnya kami putuskan tidak pakai NPWP untuk bayar fiskal.
Sampai di depan ruang tunggu Qantas Airways kami masih bawa dua botol Aqua. Padahal membawa cairan lebih dari 200 mililiter dilarang masuk, jadi dua botol itu kami habiskan berdua dengan istri. Perut jadi kembung karena air.
Ini pertama kalinya kami naik Airbus. Pesawat lumayan gedhe dengan fasilitas yang cukup komplit. Nyaman.
Dari Jakarta sampai Sydney membutuhkan waktu 7 jam 40 menit. Jam 07.10 waktu Sydney kami tiba di Sydney, bandara yang menurutku masih bagusan Bandara Hassanudin Makassar. Pemeriksaan imigrasi dan barang bawaan ekstra ketat. Tas dibongkar, gunting dibuang dan laptop harus dikeluarkan dari tas untuk pemeriksaan. Nyebelin.
Jam 09.40 Sydney kami terbang menuju Wellington dengan lama penerbangan 2 jam 50 menitan. Jadi lumayan sih ga terlalu lama, soalnya sudah capek.
Kami tiba di Wellington, New Zealand jam 14.00 waktu setempat dan harus menjalani pemeriksaan bagasi lagi. Bagasi yang berisi makanan harus dibongkar, di Pilihannya ada tiga. Declare your bringing, or dispose your bringing into trash box.. dan yang terakhir kalau nggak ngaku Kena Denda NZ$ 200, kalau dirupiahin kira-kira ya Rp.1,5 jutaan.
Untungnya ada orang Indonesia yang jadi Officer untuk pemeriksaan bagasi kami. Terimakasih untuknya, soalnya kalau nggak dibantu makanan favoritku dan istriku bisa dibuang semua oleh Supervisornya. Oh iya, kalau bawa visa student tunjukkin aja, itu bisa mengurangi hukuman kok.
Saat postingan ini aku upload kami masih menginap di penampungan, kos-kosan mahasiswa yang dulu kuliah di Wellington juga. Besok mudah-mudahan sudah bisa tinggal di flat baru kami bersama empat teman lainnya.
Terus tadi temen dari Makassar yang sudah enam bulan di sini ngajak kami jalan-jalan sebentar. Ternyata di sini ada kebiasaan barang bekas pakai tapi masih layak pakai yang nggak dipakai lagi ama pemiliknya dibuang di tempat penampungan agar bisa dipakai orang lain yang membutuhkan. Bisa dicontoh nih kayaknya ma orang Indonesia.
Dari tempat itu kami mengambil 2 buah cangkir, 2 buah piring, 4 buku fiksi berbahasa Inggris dan itu gratis. Hehe..., kami jadi pemulung soalnya bekal kami memang terbatas.
Student Visa kami berlaku untuk tujuh bulan ke depan. Biaya kuliah sudah beres, tapi untuk biaya hidup ya harus cari sendiri dengan bekerja part time bersama istriku. Habis kuliah kami harus kerja.
Insya Allah foto-fotonya segera kami upload. Salam untuk teman-teman semua. Minta maaf kalau ada salah yah. Hehe....
Looking Around Wellington City
Looking Around Wellington City
Jalan-jalan Kesasar di Kota Wellington
Seperti yang saya bilang kemarin, kota Wellington memang windy, berangin banget. Saat ini lagi summer, suhu rata-rata 22-26 derajat celcius. Jadi cukup dingin untuk orang Indonesia. Kalau keluar maka pakailah jaket. Saat summer maka akan ada perbedaan antara siang malam di Wellington dan Indonesia. Jika di Indonesia magrib jam 18.00-an maka kalau di Indonesia jam 21.00 baru magrib. Jam 17.00 di Wellington kayak jam 14.00 di Indonesia. Jam 07.00 pagi baru shalat subuh, masih gelap banget lagi. Orang-orang di sini cukup friendly, khususnya bagi para pendatang. Kesadaran akan peraturan yang ada sangat dihargai sehingga nggak perlu takut-takut saat berjalan berkeliling. Pagi tadi, jam 12.00 kami jalan-jalan keliling kota Wellington. Saya bersama istri tercinta, lalu ditemani Putri jalan-jalan menuju kampus. Beberapa kali kesasar. Akhirnya ya banyak tanya-tanya sama warga asli sana. Akhirnya sampai juga deh di tempat tujuan. Kami sempat berkunjung ke beberapa tempat, di National War Memorial, Massey University, Victoria University, Making Future Happen lalu Wellington High School. Cukup bagus juga. Ada juga kok foto-foto terbaru kami. Dilihat yah. Makasih.
Selasa, 06 Januari 2009
Selamat Datang Di Jayapura
SELAMAT DATANG DI JAYAPURA
Istriku sedang sibuk mengemasi satu tas plastik yang ia isi makanan dan minuman yang akan kami bawa. Aku sendiri menyetrika baju yang akan kami pakai untuk keberangkatan hari ini. Ibu mertuAku juga ikut sibuk membungkus nasi yang akan kami bawa sebagai bekal selama perjalanan. Jam sebelas siang istriku berangkat ke kampus UI untuk mengambil biaya operasional project penelitian GF ATM (Global Fund for AIDS, TBC and Malaria) yang akan kami jalani di Jayapura nanti. Hanya saja untuk project kali ini adalah khusus untuk project Evaluasi Malaria. Aku di rumah mengurusi tetek bengek yang nanti akan kami bawa. Obat Malaria juga kami siapkan, kami tidak ingin sepulang dari Jayapura juga kena Malaria.
Propinsi Papua adalah daerah endemic Malaria. Minyak kayu putih, balsam, obat sakit kepala, pembalut, sampo, sabun mandi, sikat gigi, odol, dan Antangin tak lupa juga Aku siapkan. Aku sendiri soalnya sering masuk angin jika perjalanan jauh. Aku menyiapkan semuanya bukan tanpa alasan, kata Bu Sunday guide kami yang sekaligus juga pegawai Dinkes Jayapura mengatakan kalau harga-harga di sana jauh lebih mahal dibandingkan di Bojonggede Bogor, tempat tinggal kami. Jam tiga sore selepas ashar kami berangkat dari Bojonggede dengan naik kereta ekonomi, turun di Stasiun Pasar Minggu lalu naik bis Damri di terminal Pasar Minggu menuju Bandara Sukarno Hatta. Seharusnya kami check in jam delapan malam nanti untuk penerbangan Lion Air yang berangkat jam 22.10 WIB nanti, tapi kami tidak mau mengambil resiko terjebak kemacetan Jakarta yang bikin sakit hati, kepala puyeng dan terlambat check in. Amit-amit deh kalau sampai ketinggalan pesawat, ticketnya kan mahal. Untung ticket istriku ditanggung sama biaya project, kalau Aku kan pakai dana pribadi. Magrib kami sampai di Bandara Sukarno Hatta, istirahat sejenak, lalu shalat magrib dan mampir ke ATM untuk mentransfer uang ke adikku di kampung, tepatnya desa Sumberejo kecamatan Japah Kabupaten Blora untuk tambahan biaya sawah yang Aku di bulan Ramadhan kemarin.
Menjelang isya kami makan bekal yang tadi kami bawa, tak lupa minum obat anti malaria sebagai pencegahan. Kami bertemu dengan rekan istriku yang juga akan berangkat ke Jayapura. Istriku dan dia ditugaskan di propinsi yang sama tapi beda area. Istriku di Dinkes Propinsi Papua, Dinkes Kota Jayapura dan Dinkes Kabupaten Keerom. Rekan istriku kalau tidak salah di Kabupaten Jayapura dan Kabupaten Jayawijaya. Istriku sebenarnya dari awal memang diminta untuk menemani rekannya tersebut selama perjalanan dari Jakarta sampai di Jayapura. Aku tak tahu kenapa istriku menolak menemaninya, belakangan Aku baru tahu kalau ternyata rekan tersebut memang gadis yang cukup menyebalkan. Tidak enak di ajak ngobrol, muka ditekuk terus menerus dan jutek, tidak simpatik, dan suka menyalahkan orang lain. Dia lebih shock lagi pada saat tahu istriku menggandengku saat menemuinya. Akhirnya dia mendiamkan kami, semprul tenan... Saat sudah check in ke dalam bandara Sukarno Hatta dan transit di Bandara Sultan Hassanudin Makassar Aku coba ajak komunikasi dengannya, berbicara baik-baik, mengajak bercanda, tapi tak ada tanggapan yang menyenangkan.
Jawabannya singkat, antara iya dan tidak, nanti dan belum dan jawaban singkat lainnya yang hampir membuatku naik pitam. Saat menjawab pertanyaanku wajahnya ditekuk tak melihatku apalagi melihat istriku, tangan asyik bermain dengan ponsel Sony Ericson-nya. Semprul tenan, cantik-cantik kok kayak benda mati gini. Aku sendiri akhirnya jadi berkesimpulan sampai usianya yang sudah meleawati kepala tiga gini kok belum kawin-kawin ya karena sikapnya yang menyebalkan itu. Akhirnya dari sejak dari Bandara Makassar itu Aku lebih memilih diam. Istriku nyeletuk dengan muka kecutnya sambil meledekku. ”Sekarang mas sudah tahu kan kenapa adek ga mau bareng ma dia?. Ya begitu itu orangnya. Adek aja pernah dibikin nangis-nangis ama dia”.
Di Bandara Sultan Hassanudin Makassar kami hanya istirahat sebentar. Aku dan istriku masih sempat makan nasi bungkus yang disiapkan oleh Ibu MertuAku tadi, makan kue, minum dan sempat kencing juga. Panggilan dari petugas Bandara menyadarkan kami untuk segera naik pesawat menuju Jayapura. Sudah ada banyak perombakan besar-besaran pada bandara Sultan Hassanudin Makassar ini. Terakhir Aku transit ke bandara ini pada hari Senin, 5 Maret 2007. Jadi itu satu setengah tahun yang lalu. Berbeda sekali pada waktu itu karena saat ini bandara di Makassar ini telah menjadi Bandara bertaraf internasional, bahkan jika Aku bandingkan sepertinya lebih bagus dari Bandara Juanda di Surabaya. Fasilitasnya sudah lumayan lengkap, baik itu conveyor belt-nya, sistem keamanan, toilet, restoran dan waiting room-nya. Bandara Makassar sekarang jika dilihat dari landasan atau dari luar desainnya mirip seperti aquarium, dan kita adalah ikan-ikannya.
Hal yang menurutku paling menyebalkan adalah antrian panjangnya pada saat mau masuk ke waiting roomnya. Dari dua conveyor belt yang dipasang, hanya satu yang difungsikan, jengkel banget kan? Apa mungkin Bandara kekurangan tenaga kerja? Ada saran dari Aku untuk masalah penerbangan pesawat di Indonesia. Jika kita mau menikmati penerbangan jarak jauh dengan harga murah plus bonus kelaparan dan kehausan di dalam pesawat ya naik Lion Air, tapi jika tidak, pilihlah maskapai penerbangan lain yang lebih manusiawi. Jangan berharap kita hampir mati kehausan di pesawat terus dikasih air sama pramugarinya. Sepanjang perjalanan dari Jakarta lalu transit Makassar dan akhirnya menuju ke Jayapura tidak ada air segelas pun yang dihidangkan oleh pramugari kepada kami, apa lagi makanan.
Penerbangan yang murah tapi tidak manusiawi menurutku. Jika kita makan tapi tidak bawa air dan uang terbatas lalu tersedak, ya siap-siaplah minta minum teman sebelah jika kuat malu. Kalau tidak kuat malu ya minum saja air toilet. Kalau tidak mau lagi, siap-siap saja mati keselek atau keloloden (tersedak) makanan. Yang Aku lihat justru malah pramugari-pramugarinya yang cantik melAkukan fashion show dengan menjual makanan dan minuman yang harganya lima sampai sepuluh kali lipat dari harga normal.
Bagi yang berkantong cekak kayak kami ya mikir-mikirlah buat beli makanan atau minuman itu. Saking jengkelnya Aku sampai bilang ke pramugarinya. “Mbak, mentang-mentang sepanjang perjalanan udara ga ada warung jangan mahal-mahal dong jual makanan dan minumannya.” Pramugari menanggapi kata-katAku itu dengan senyum “manisnya”. Sepanjang perjalanan dari Jakarta ke Makassar Aku tak bisa tidur, hanya istriku yang bisa tidur pulas. Aku baru bisa tidur pada perjalanan dari Makassar ke Jayapura, itu pun hanya dua jam. Jam 05.00 WIB atau jam 07.00 WIT kami sampai di atas langit Irian Barat, sebuah propinsi yang dulu dipertahankan mati-matian oleh Presiden Sukarno dengan TRIKORA-nya. Dari jendela pesawat pemandangan begitu indah, terlihat hijau bagaikan karpet dan permadani yang terhampar begitu luas. Pada bagian hutan dari atas jendela pesawat terlihat seperti karpet hijau kasar, sedangkan yang sabana/padang rumputnya terlihat seperti karpet hijau yang halus. Istriku pun mengatakan bahwa Irian Jaya bagaikan Amazzon-nya Indonesia.
Sayang sekali jika alam seindah ini menjadi rusak atau dikuasai oleh bangsa lain. Rasa kebangsaanku tiba menyeruak muncul, dadAku sesak, bangga akan perjuangan pahlawan-pahlawan dan para pejuang yang dulu dengan susah payah dan rela mengorbankan dirinya pada saat perebutan pulau ini dengan Belanda. Jam 07.15 WIT kami mendarat di Bandara Sentani Jayapura. Ini berarti di Jakarta baru jam 05.15 WIB. Istriku mulai sibuk menghidupkan HP dan mengirim SMS memberi tahu bahwa kami berdua telah sampai dengan selamat di Sentani.
Istriku sengaja segera memisahkan diri dari rekannya, menelpon Bu Sunday guide kami dan mempersiapkan mobilnya. Aku bertugas mengambil bagasi. Bu Sunday sebenarnya asli Surabaya, suaminya adalah orang Irian Jaya asli (tepatnya dari Serui), dr. Cleimens namanya yang bekerja sebagai Direktur Perawatan di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta setelah sebelumnya menjabat sebagai Pimpinan di RSUD Jayapura. Di Jayapura Bu Sunday bekerja di Dinkes Propinsi Jayapura dan memiliki apotik yang berada di dekat Rumah Sakit Umum Jayapura, namanya Apotik Sumber Kasih. Kedua anak mereka kuliah di FAkultas Kedokteran Universitas Airlangga Surabaya. Aku kenal dengan anak pertamanya karena kami pernah di ajak jalan-jalan dan makan malam di kawasan elit di Pakuwon dan daerah perumahan Darmo Permai di Surabaya. Saat itu Bu Sunday berkonsultasi tentang thesisnya kepada istriku. Mobil Daihatsu Taruna milik Bu Sunday segera membawa kami dari Bandara Sentani menuju kantor GF ATM Jayapura.
Sepanjang perjalanan Bu Sunday banyak bercerita kepada kami tentang kota Jayapura, budaya hidup lokal, alamnya, malaria yang dianggap seperti sakit flu atau masuk anginnya orang Jawa dan masih susahnya berinvestasi di daerah tersebut karena masalah hukum adat pelepasan tanah yang begitu ruwet.
Jalanan yang sekelilingnya masih begitu hijau, langit yang cerah dan jauh dari polusi, udara yang bersih, kontras dengan keadaan di Jakarta yang begitu berdebu, udara yang kotor, kemacetan yang bikin sakit hati dan langit yang kalau malam kita susah melihat bintang. Setelah hampir limapuluh menit perjalanan kami sampai di GF ATM. Pak Wimbadi Sigit, Project Officer GF ATM menyambut kami dan menyediakan minuman dingin yang segar. Aku tahu istriku harus mempersiapkan FGD untuk program Malaria GFATM ini. Itu artinya istriku harus mengundang Kadinkes Kota Jayapura, Kadinkes Propinsi Papua, Bappeda, pihak RSUD, dan dari pihak GF sendiri untuk berdiskusi dalam satu forum. Aku juga harus siap membantu istriku, mungkin mondar-mandir mengirimkan undangan.
Kami berbincang sejenak dengan Pak Sigit. Beliau memberikan pengarahan kepada istriku. Menjelaskan bahwa bukan hal yang mudah untuk mengundang banyak pihak untuk melaksanakan FGD dalam waktu sesingkat ini. Dan bukanlah hal yang mudah mendapatkan laporan yang lengkap tentang Malaria di Dinkes Kota atau Dinkes Propinsi. Budaya kerja di tempat ini memang berbeda jauh dengan yang kami temui selama ini di Jakarta. Kebanyakan baru masuk kantor menjelang jam sembilan siang. Jam satu siang kantor sudah sepi, tinggal setan kantor yang berkeliaran di dalam kantor karena sudah ditinggal penghuninya. Mungkin inilah penyebabnya kenapa negara ini tidak maju-maju. Bu Sunday juga memberikan petuahnya kepada kami, beliau juga mencarikan penginapan bagi kami berdua selama berada di Jayapura ini. Setelah dari GF ketemu dengan Pak Sigit, kami sarapan di warung Mbok Djanu dekat RSUD Jayapura. Warung yang menyediakan porsi yang begitu besar, Aku dan istri Aku juga tidak mampu untuk menghabiskannya. Belakangan Aku tahu dari Bu Sunday bahwa porsi makan orang-orang di Jayapura memang sebanyak itu. Hebat deh nafsu makan orang sini.... Hari pertama (Rabu, 8 Oktober 2008) dari hari Selasa kemarin sampai sore tidak mandi, jadi ya hampir dua hari kami tak mandi. Kedatangan kami pertama kali di Jayapura kepontang-panting karena harus segera mengirimkan undangan FGD untuk hari Jum’at, 10 Oktober 2008 besok. Pertama undangan ke GF, lalu ke Bapedda, lalu ke RSUD, ke Dinkes Propinsi dan Dinkes Kota Jayapura. Pada saat di Dinkes Propinsi Aku sendiri hampir pingsan karena muntah-muntah. Apa yang tadi Aku makan di warung Mbok Djanu keluar semua. Penyakit biasa, yaitu masuk angin. Penyakit terkenal yang susah untuk Aku sebut nama ilmiahnya. Pada saat kunjungan ke RSUD Jayapura pun ada hal yang menurut kami jorok. Cat dinding rumah sakit banyak yang coreng moreng berwarna merah darah. Awalnya Aku menduga itu akan dicat ulang dengan warna merah tapi ternyata dugaan Aku itu salah. Kata kepala Laboratorium rumah sakit, warna merah darah di dinding itu karena kebiasaan orang-orang lokal yang makan pinang dan sirih lalu meludahkan air ludahnya yang berwarna merah ke sembarang tempat, salah satunya ya ke dinding rumah sakit. Padahal di sana-sini banyak sekali larangan untuk meludah. Hal unik Aku temukan di RSUD Jayapura adalah adanya dua larangan yang dipasang besar-besar karena saking mengganggunya. Yaitu: 1. DILARANG MEROKOK DALAM RUANGAN INI dan 2. DILARANG MEMBUANG LUDAH SEMBARANGAN atau DILARANG MAKAN PINANG. Tapi ternyata larangan ini juga Aku temukan juga di Bandara Sentani pada saat mau pulang balik ke Jakarta. Bahkan larangannya malah komplit dengan gambar orang meludah yang disilang merah. Hebat kan? Di Jayapura, orang-orang lokal yang memakan pinang dan sirih adalah hal yang biasa. Kakek, nenek, bapak, ibu dan bahkan anak-anak kecil juga banyak yang makan pinang. Pegawai-pegawai di Dinas Kesehatan, rumah sakit, guru dan banyak orang umum lainnya yang notabene orang-orang lokal ternyata juga mempunyai kebiasaan makan pinang. Kebanyakan dari mereka sudah kecanduan untuk makan pinang. Jika mereka berhenti sehari saja katanya kepala sudah pusing-pusing tidak karuan. Gigi mereka jadi merah karena sering makan pinang. Jika Anda mau mencoba makan pinang di sini, harga perporsi buah pinang dan kapur cuma seribu rupiah, bahkan kadang ada bonus dengan sirihnya. Murah kan? Kebiasaan makan pinang ini agak berbeda dengan kebiasaan di Jawa atau di Sumatra. Di sini, pinang yang dimakan adalah buah pinang yang masih muda. Kapur untuk teman makan pinangnya pun kapur kering berbentuk bubuk, sedangkan kalau di Jawa dan Sumatra memakain kapur basah sebagai campuran. Hal yang paling berbeda adalah cara membuang ludahnya... Menjelang jam lima sore waktu setempat kami sudah menyelesaikan pengiriman undangan FGD. Kami istirahat di penginapan, mandi dan tak lupa minum obat anti malaria. Malam kami diajak jalan-jalan oleh Bu Sunday untuk makan dan melihat kota Jayapura di waktu malam. Suasana malam di Jayapura gimana ya? Inilah yang menurutku sangat kontras. Siang tadi saat kami melewati jalanan di kota Jayapura sangat sepi. Tapi malam ini jalanan begitu padat bahkan untuk mencari tempat parkir juga sangat susah. Masalah makanan di Jayapura, kami tak mengalami masalah dengan menunya, tapi masalah harga tolong ya, jangan dibandingkan dengan di pulau Jawa atau Pulau Sulawesi. Harga makanan di sini lebih mahal satu setengah kali sampai tiga kali dari harga kalau kita makan di kedua pulau itu. Dalam hal ini guide kami sudah memberitahukannya dari awal sejak keberangkatan kami dari Jakarta. Penjual makanan kebanyakan juga pendatang dari Jawa dan Sulawesi. Masakan Padang, masakan asli suku istriku juga banyak Aku temukan di Jayapura. Para pedagang toko kelontong, toko-toko emas dan pengrajin emas justru kebanyakan malah orang-orang keturunan Cina. Kebanyakan para pendatang inilah yang sepertinya menghidupkan malam dan membuat geliat ekonomi di kota ini hidup. Lalu warga lokalnya jualan apa? Kebanyakan jualan hasil bumi dan yang khas adalah jualan sirih dan pinang. Menjelang jam sembilan malam kami menuju warung internet yang dekat dengan pantai. Istriku mendownload format penulisan laporan penilitian yang saat ini dilaksanakan. Selanjutnya kami pulang dan tidur nyenyak karena kelelahan. Bersambung...